Sabtu, 26 Februari 2011

PERMASALAHAN PIDANA MATI DI INDONESIA

Hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya pidana mati. KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.

Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.

Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah  pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten

Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. 

Hasil studi tersebut secara significan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Hingga tahun lalu telah 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tingal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia.

Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan pasal 28A UUD 1945 yang tersebut di atas. Namun jika teliti lagi, dalam penjelasan pasal ini menyatakan :
“setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”

Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat “…berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan…” sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam keadaan tersebut hak untuk hidup dapat dihilangkan. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.

Keadaan seperti ini yang membuat problematika yang membawa pengaruh cukup besar terhadap pelaksanaan eksekusi dalam kasus-kasus pidana mati. Konon, Indonesia adalah salah satu negara yang dalam sejarahnya tidak pernah tepat waktu dalam mengeksekusi para terpidana hukuman mati. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, pemerintah Indonesia selalu menunda-nunda eksekusi bagi terpidana mati yang telah dijadualkan sebelumnya. Bahkan, ada pelaksanaan eksekusi mati yang memakan waktu lama hingga bertahun-tahun karena berbagai alasan dan pertimbangan tersebut. Misalnya dalam kasus Mahar bin Matar, pria asal Riau ini harus menanggung derita tak terkira.

Mahar dijatuhi hukuman mati melalui keputusan Pengadilan Negeri Tembilahan Indragiri Hilir pada 5 Maret 1970. Namun hingga kini, 37 tahun berselang, ia belum dieksekusi. Ini sesuatu yang tidak adil. Dia harus menjalani tiga hukuman yakni hukuman mati, hukuman penjara selama 37 tahun, dan hukuman psikologis. Kemudian kasus Bom Bali dengan terpidana mati, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron yang ditunda pelaksanaan eksekusinya yang seharusnya dilaksanakan pada bulan Agustus 2006. Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain yang hampir sama dengan dua kasus tersebut.

Kesimpulan

Terdapat dua kubu yang muncul dalam penerapan pidana mati di Indonesia. Yang pertama adalah kubu yang menentang diterapkannya pidana mati dalam hukum di Indonesia, dengan berbagai alasan yang kebanyakan dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Dengan dasar UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan perjanjian-perjanjian luar negeri, seperti International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.

Kubu yang kedua adalah hukum positif di Indonesia sendiri. Masih banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih menerapkan pidana mati di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal ini di pertegas dengan pernyataan dalam penjelasan pasal 9 (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya membatasi hak untuk hidup dalam dua hal, yaitu tindakan aborsi demi kepentingan hidup ibunya dan berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati.

Kedua kubu tersebut bertolak belakang sehingga menyebabkan probematika dan mengakibatkan dampak negatif terhadap penerapan hingga pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia. Tampaknya mustahil jika kita menentang pidana mati sementara peraturan perundang-undangan kita termasuk yang lahir pada era reformasi masih mencantumkan ancaman pidana tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ditunggu coment nya